300x600
Beberapa hari ini bahasan soal speaker atai TOA masjid jadi perbincangan hangat di sejumlah tempat, termasuk di dunia maya.
Obrolan speaker masjid ini bisa jadi dikaitkan dengan perkara yang membelit warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, Meiliana.
Meiliana divonis 18 bulan penjara gara-gara memprotes volume suara azan.
Penggunaan speaker masjid, apakah ada aturannya?
Aturan penggunaan speaker atau pengeras suara, sudah diatur melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla.
Aturan tersebut berisi 5 poin, yakni;
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil.
Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat.
Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya.
Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan.
Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu
baca sumber
Kode 300 x 250
Obrolan speaker masjid ini bisa jadi dikaitkan dengan perkara yang membelit warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, Meiliana.
Meiliana divonis 18 bulan penjara gara-gara memprotes volume suara azan.
Penggunaan speaker masjid, apakah ada aturannya?
Aturan penggunaan speaker atau pengeras suara, sudah diatur melalui Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla. Dalam surat yang ditandatangani Kafrawi, Dirjen Bimas Islam saat itu, terdapat sejumlah aturan mengenai pengunaan pengeras suara di masjid, langgar, atau mushalla.
Aturan tersebut berisi 5 poin, yakni;
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar. Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala
2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil.
Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.
3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat.
Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya
4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya.
Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.
5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan.
Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu
baca sumber