300x600
Masing-masing suku di Nusantara memiliki tradisi masing-masing yang berbeda dan unik, termasuk dalam tradisi pernikahan atau perkawinan. Lebih khusus lagi tentang tradisi malam pertama bagi pengantin baru.
Salah satu suku yang memiliki tradisi yang berbeda dan unik tentang hari pernikahan, terutama tentang malam pertama pengantin baru ini adalah suku Batak di Sumatera Utara.
Namun, sebelum memaparkan tentang keunikan dalam tradisi suku Batak, di sini dipaparkan salah satu suku lainnya di Palembang, Sumatera Selatan, yaitu suku Al Munawar, di mana di suku tersebut ada pernikahan warga keturunan Arab.
Bagaimana perbedaan itu? Biasanya, pada acara akad nikah, pengantin perempuan dan laki-laki berada di satu tempat. Di kampung itu pengantin perempuan dilarang bertemu calon suaminya.
Seremoni akad pernikahan hanya dihadiri orang tua laki-laki dari pihak perempuan. Begitu juga dengan para saksi nikah, semua ada di dalam ruangan hanya dipenuhi kaum pria. Tak seorang pun perempuan dibolehkan masuk hingga prosesi akad selesai.
Yang sangat menarik dari tradisi perkawinan dalam suku Al Munawar, yakni ada istilah nunggu kamar pada malam pertama. Dalam hal mana, pada malam pertama pernikahan, sepasang pengantin itu akan ditemani seorang anggota keluarga dari pihak perempuan.
Menurut sejumlah sumber, bahwa tradisi nunggu kamar ini masih dijalankan sampai sekarang. Jadi, di kamar pengantin akan ditunggu ibu dari perempuan. Yang menunggu harus perempuan, pengantinnya tetap ada di kamar. Tradisi ini dilakukan dua sampai tiga hari.
Sedangkan di sebuah suku di Cali, Colombia, ibu mertua yang wajib menonton atau menyaksikan malam pertama anak dan mantunya.
Woow! Perkawinan baru dikatakan sah setelah malam pertama itu ditonton dan disaksikan oleh ibu mertua wanita dari pengantin baru.
Lalu, bagaimana dengan tradisi malam pertama suku Batak, khususnya Batak Toba di zaman dulu, sebelum tahun 1945? Ternyata suku Batak Toba, pengantin baru tidak bisa menikmati malam pertama perkawinannya. Kok bisa?
Begini kisahnya. Setelah mengikuti acara adat Batak sampai sore atau malam hari, pengantin sudah ditagih oleh kawan-kawannya untuk melakukan pesta naposo (pesta muda-mudi). Tradisi ini setidaknya terjadi di Tano Batak sebelum tahun 1945.
Pesta ini praktis membuat pengantin satu malam tidak bisa tidur. Otomatis pengantin pun tidak bisa menikmati malam pertamanya. Woow, kasihan sekali bukan? Tetapi, itulah tradisi.
Prof. Dr. Bungaran Simanjuntak lewat bukunya ‘Sistem Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945’ (2006) menyebutkan, pesta ini adalah pesta initiate (peralihan status) bagi pengantin wanita.
Untuk pengantin wanita, hal ini menjadi tanda perpisahan karena mulai besok paginya dia bukan anak gadis lagi dan tidak boleh bergaul bebas seperti masih gadis. Dirinya sudah berstatus seorang ibu atau orang tua.
Karena alasan itu, setelah pesta hampir usai pada pagi hari, para gadis-gadis ini biasanya menangisi pengantin perempuan. Tangisan itu menandai pengantin tidak lagi menjadi bagian muda-mudi, tetapi natua-tua (orangtua).
Sementara itu, dalam pesta naposo, pengantin pria harus memberi jambar naposo (bagian muda-mudi) kepada setiap pemuda maupun pemudi yang hadir. Jambarini bisa berupa yang atau benda yang lain.
Uniknya, pesta naposo juga sering kali dimanfaatkan oleh para pemuda-pemuda teman pengantin pria untuk berkenalan dengan gadis-gadis yang juga hadir dalam acara tersebut.
Tidak jarang dari situ juga tercipta hubungan baru dari muda-mudi sebagaimana awal pacaran, -istilah anak sekarang- yang bisa sampai ke pelaminan. Begitulah pesta naposo (pesta muda-mudi).
Di satu sisi membuat pengantin baru tidak bisa menikmati malam pertamanya, tapi di sisi lain memberi berkat buat kawan-kawannya yang masih lajang, dan mulai pacaran, atau yang sedang pacaran biar cepat-cepat menikah.
Tapi, jangan-jangan orang suku Batak Toba zaman dulu tidak kenal apa yang disebut dengan tradisi malam pertama, yang merupakan suatu malam yang ditunggu-tunggu oleh pasangan yang sedang jatuh cinta dan ingin meneruskan cintanya ke pelaminan dalam mahligai rumah tangga. Bisa jadi.
baca sumber
Kode 300 x 250
Salah satu suku yang memiliki tradisi yang berbeda dan unik tentang hari pernikahan, terutama tentang malam pertama pengantin baru ini adalah suku Batak di Sumatera Utara.
Namun, sebelum memaparkan tentang keunikan dalam tradisi suku Batak, di sini dipaparkan salah satu suku lainnya di Palembang, Sumatera Selatan, yaitu suku Al Munawar, di mana di suku tersebut ada pernikahan warga keturunan Arab.
Bagaimana perbedaan itu? Biasanya, pada acara akad nikah, pengantin perempuan dan laki-laki berada di satu tempat. Di kampung itu pengantin perempuan dilarang bertemu calon suaminya.
Seremoni akad pernikahan hanya dihadiri orang tua laki-laki dari pihak perempuan. Begitu juga dengan para saksi nikah, semua ada di dalam ruangan hanya dipenuhi kaum pria. Tak seorang pun perempuan dibolehkan masuk hingga prosesi akad selesai.
Yang sangat menarik dari tradisi perkawinan dalam suku Al Munawar, yakni ada istilah nunggu kamar pada malam pertama. Dalam hal mana, pada malam pertama pernikahan, sepasang pengantin itu akan ditemani seorang anggota keluarga dari pihak perempuan.
Menurut sejumlah sumber, bahwa tradisi nunggu kamar ini masih dijalankan sampai sekarang. Jadi, di kamar pengantin akan ditunggu ibu dari perempuan. Yang menunggu harus perempuan, pengantinnya tetap ada di kamar. Tradisi ini dilakukan dua sampai tiga hari.
Sedangkan di sebuah suku di Cali, Colombia, ibu mertua yang wajib menonton atau menyaksikan malam pertama anak dan mantunya.
Woow! Perkawinan baru dikatakan sah setelah malam pertama itu ditonton dan disaksikan oleh ibu mertua wanita dari pengantin baru.
Lalu, bagaimana dengan tradisi malam pertama suku Batak, khususnya Batak Toba di zaman dulu, sebelum tahun 1945? Ternyata suku Batak Toba, pengantin baru tidak bisa menikmati malam pertama perkawinannya. Kok bisa?
Begini kisahnya. Setelah mengikuti acara adat Batak sampai sore atau malam hari, pengantin sudah ditagih oleh kawan-kawannya untuk melakukan pesta naposo (pesta muda-mudi). Tradisi ini setidaknya terjadi di Tano Batak sebelum tahun 1945.
Pesta ini praktis membuat pengantin satu malam tidak bisa tidur. Otomatis pengantin pun tidak bisa menikmati malam pertamanya. Woow, kasihan sekali bukan? Tetapi, itulah tradisi.
Prof. Dr. Bungaran Simanjuntak lewat bukunya ‘Sistem Sosial dan Sistem Politik Batak Toba hingga 1945’ (2006) menyebutkan, pesta ini adalah pesta initiate (peralihan status) bagi pengantin wanita.
Untuk pengantin wanita, hal ini menjadi tanda perpisahan karena mulai besok paginya dia bukan anak gadis lagi dan tidak boleh bergaul bebas seperti masih gadis. Dirinya sudah berstatus seorang ibu atau orang tua.
Karena alasan itu, setelah pesta hampir usai pada pagi hari, para gadis-gadis ini biasanya menangisi pengantin perempuan. Tangisan itu menandai pengantin tidak lagi menjadi bagian muda-mudi, tetapi natua-tua (orangtua).
Sementara itu, dalam pesta naposo, pengantin pria harus memberi jambar naposo (bagian muda-mudi) kepada setiap pemuda maupun pemudi yang hadir. Jambarini bisa berupa yang atau benda yang lain.
Uniknya, pesta naposo juga sering kali dimanfaatkan oleh para pemuda-pemuda teman pengantin pria untuk berkenalan dengan gadis-gadis yang juga hadir dalam acara tersebut.
Tidak jarang dari situ juga tercipta hubungan baru dari muda-mudi sebagaimana awal pacaran, -istilah anak sekarang- yang bisa sampai ke pelaminan. Begitulah pesta naposo (pesta muda-mudi).
Di satu sisi membuat pengantin baru tidak bisa menikmati malam pertamanya, tapi di sisi lain memberi berkat buat kawan-kawannya yang masih lajang, dan mulai pacaran, atau yang sedang pacaran biar cepat-cepat menikah.
Tapi, jangan-jangan orang suku Batak Toba zaman dulu tidak kenal apa yang disebut dengan tradisi malam pertama, yang merupakan suatu malam yang ditunggu-tunggu oleh pasangan yang sedang jatuh cinta dan ingin meneruskan cintanya ke pelaminan dalam mahligai rumah tangga. Bisa jadi.
baca sumber